CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 27 Oktober 2013

PENYESALAN RAJA CREON

Ketika langt menjadi gelap dan bulan tersaput kabut. Antigone mengendap-endap keluar dari Thebes,menuju tanah lapang. Ia membawa berbagai perlengkapan yang diperlukan untuk pemakaman, ramuan pengurap, air pembasuh, minyak wangi dan kain pembungkus mayat. Antigone ingin mengubur jasad saudaranya Polyneices dalam suatu makam kosong tak seberapa jauh dari tempat kematian Polyneices.

Polyneices telah menyerang kota untuk merebut tahta dari Eteocles, saudara lelakinya sendiri, tetapi keduanya tewas dalam duel. Creon, paman kedua pangeran itu, mengangkat dirinya menjadi Raja Thebes dan memerintahkan agar mayat Polyneices dibiarkan saja menjadi makanan anjing dan burung hering. Namun Antigone bertekad untuk menguburkan Polyneices secara layak.

Dirasa tak ada seorangpun yang melihatnya, Antigone mendekati jasad Polyneices yang tergeletak kaku di atas tanah. Gadis itu lalu membersihkannya, mengurapi, mengolesinya dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain putih.

Dengan menangis Antigone menarik jasad saudaranya ke pemakaman dan membaringkannya di sana.
Ketika pekerjaan yang melelahkan serta menyedihkan itu selesai, matahari telah terbit. Dengan segera Antigone kembali ke rumahnya. Lewat beberapa jam kemudian, pengawal-pengawal raja mengetuk pintu rumahnya.

“Antigone, Creon memerintahkan dirimu untuk menghadap Dewan Orang-orang Bijak!” kata pimpinan pengawal itu.

Dewan Orang-orang Bijak adalah suatu dewan penasehat raja dalam urusan-urusan yang sulit dan berbelit-belit. Pasti ada orang yang melihat saat aku menguburkan saudaraku dan dia pasti telah melapor, pikir Antigone. Tetapi bagaimana pun ia tak ingin melarikan diri. Ia merasa tak perlu malu atas apa yang telah dilakukannya.

Oleh karena itu, dengan berani Antigone hadir di depan dewan. Ia segera melihat bahwa di dekat Creon berdiri seorang penjaga pintu gerbang. Pasti orang itu yang telah melaporkan, kata Antigone dalam hati.

“Datanglah mendekat Antigone!” kata Raja Creon dengan kasar.

Kemudian dengan memandang para bijak, ia meneruskan ucapannya, “Kalian semua mengetahui bahwa aku telah memerintahkan agar Eteocles, si pembela tanah air, mendapat penguburan yang layak. Dan agar Polyneices, yang merupakan penghianat Negara, dibiarkan menjadi mangsa anjing-anjing dan burung hering. Hai para bijak, apakah dalam pandangan kalian perintahku ini tepat?”

“Ya, begitulah kami kira!” sahut mereka, seakan takut untuk membantah.

“Tetapi ada orang yang tidak mematuhi perintahku, karena pagi tadi mayat Polyneices tidak ada lagi di tanah lapang!” lanjut Creon.

Muncul keheningan, tak ada yang bersuara di dalam gedung itu. Semuanya diam membisu.

“Penjaga benteng kota telah melihat seseorang mengambil mayat penghianat itu dan menguburkannya. Antigone! Kau telah membangkang terhadapku! Kau telah menguburkan Polyneices. Penjaga benteng telah melihat. Kau jangan menyangkal!”

“Tidak! Aku tidak menyangkalnya,” jawab gadis itu dengan tenang. “Hai Raja, kau telah member perintah, tetapi hatiku juga member perintah terhadap diriku. Aku memang punya kewajiban untuk mentaati perintah-perintahmu, tetapi aku juga wajib melaksanakan hukum kodrat. Aku melaksanakan apa yang kuyakini tepat dan benar. Dan kini, lakukanlah juga terhadapku apa yang tepat dan benar!”

“Akan kulakukan apa yang kujanjikan untuk dilaksanakan!” teriak Raja Creon dengan bengis.
Kemudian ia memerintahkan agar Antigone dikubur hidup-hidup dalam sebuah gua. Salah seorang anggota dewan mengingatkan Creon bahwa, Antigone telah ditunangkan dengan putranya, Haemon.

“Aku akan mencarikan calon lain buatnya,” jawab Creon.

Haemon pun memohon agar Antigone tidak dikubur hidup-hidup, tetapi Creon tidak mendengar permintaan putranya. Seluruh penduduk kota merasa ngeri mendengar vonis yang mengerikan itu. Namun Antigone sendiri dengan tenang membiarkan dirinya dikurung di dalam gua.

Beberapa hari lewat. Seluruh kota seperti tenggelam dalam derita dan kesunyian. Orang-orang Thebes seperti prihatin, mereka seakan ikut merasakan penderitaan Antigone yang malang itu sekarat secara mengerikan. Haemon, tunangan gadis itu, menutup diri di dalam kamarnya, putus asa.

Tetapi pada suatu ketika, Tiresias, seorang peramal buta, berteriak-teriak minta dibimbing menghadap Raja Creon.

“Raja Creon, tindakanmu tidak tepat, tidak bijaksana!” kata Tiresias setelah berada di hadapan Raja Creon. 

“Kau telah bersikap keji terhadap seorang gadis yang tidak bersalah, yang bertindak atas dasar belas kasihan dan kasih sayang! Waspadalah Raja Creon! Waspadalah!”

“Aku tak mau mendengar ucapanmu!” sahut Creon.

“Hati-hati kau! Bila kau tidak mendengarkan suara hati, hatimu akan remuk!”

Akhirnya Raja Creon merasa takut dengan apa yang diucapkan Tiresias, ia tahu bahwa ramalan Tiresias tak pernah meleset.

 “Baiklah aku biarkan gadis itu hidup. Keluarkan dia!” kata Creon.

Dengan hati gembira dan perasaan lega semua berlari menuju tempat Antigone dikubur hidup-hidup. Haemon yang tiba di sana paling awal, sampai di sana ia memanggil-manggil kekasihnya. Tetapi ketika bati terakhir yang menutupi gua itu disingkirkan, suara Haemon tertelan di kerongkongannya. Dilihatnya Antigone tergeletak mati. Pembatalan hukuman Creon terhadap gadis itu terlambat datangnya.

Dengan kesedihan yang mendalam, Haemon menghunus pedangnya dan menusukkan ke dadanya sendiri. Pemuda itu tersungkur bermandikan darah di atas jasad calon istrinya.

Raja Creon terkejut mendengar tindakan Haemon. Dengan terisak-isak ia mengambil mayat putranya. Tetapi kepedihan Creon tak hanya sampai di situ. Eurydice, istrinya, ketika mendengar peristiwa yang mengenaskan itu, langsung bunuh diri. 

Selesai

Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.

0 komentar:

Posting Komentar