Para Opas dan Bek (lurah) Kemayoran
bernama Saeyan, mengiringi langkah kaki Tuan Ruys, penguasa daerah Kemayoran.
Mereka bergegas ke suatu tempat. Ke rumah Babah
Yong yang baru saja kerampokan. Babah adalah sebutan untuk lelaki Tionghoa.
Setelah mempelajari bekas-bekas
perampokan, Tuan Ruys berkata kepada Bek Kemayoran. “Tangkap Asni!”
Esok harinya si Asni, seorang
pemuda yang gagah diborgol dan ditahan di kantor Opas Kemayoran.
Asni diintrogasi habis-habisan. “Tidak ada bukti yang menunjukan bahwa saya pelaku perampokan itu,” kata Asni. “Sebab semalaman saya berada di rumah. Banyak orang yang menjadi saksi bahwa saya ada di rumah.”
Setelah diselidiki dengan teliti akhirnya Asni dibebaskan. Tidak jadi dipenjara. Namun dengan syarat yang berat.
“Kau bebas, tapi kau harus bisa menyeret perampok yang sebenarnya. Jika tidak berhasil kau sendiri yang aku masukkan ke dalam penjara!” Kata Tuan Ruys.
“Baik Tuan, “ kata Asni.
Esok harinya Asni melakukan penyelidikan ke daerah Marunda. Baru saja memasuki perkampungan ia sudah ditegur penjaga gardu.
“Hai orang asing! Mau kemana lu?”
“Ah, masak siang-siang begini saya dicurigai?”
“Kurang ajar! Ditanya nggak jawab malah balik tanya!” penjaga gardu itu tersinggung , ia bangkit dari tempat duduknya dan langsung menendang Asni.
Namun dengan mudah Asni mengelak dan dengan sangat kilat tahu-tahu penjaga gardu sudah jatuh tersungkur. Penjaga yang lain langsung menyerang dengan tongkat. Namun sekali sentak tongkat itu lepas dan pemegangnya jatuh dengan tangan terkilir. Kedua penjaga itu segera lari menemui Bang Bodong. Seorang pendekar kawakan dari kampung Marunda.
“Bang ada orang mabuk bikin rusuh di kampung kita!”
“Mana dia?”
Pada saat yang sama Asni sudah berada di tempat itu. “Saya bukan cari keributan!”
Asni bermaksud menjelaskan, tapi percuma. Bang Bodong sudah langsung menyerang dengan jurus-jurus andalannya. Asni agak kerepotan meladeni pendekar gaek itu.
Asni sama sekali tidak balas menyerang. Dia hanya menangkis dan mengelak setiap serangan Bang Bodong. Kadang Asni bergulingan, kadang bersalto atau meloncat ke samping. Lama-lama Bang Bodong terkuras tenaganya. Dan Asni mengalahkannya tanpa harus balas menyerang.
“Sekali lagi saya tidak bermaksud bikin keributan. Ini hanya salah paham saja,” ujar Asni dengan sopan.
Namun dari arah samping rumah
tiba-tiba muncullah Mirah, anak gadis Bang Bodong yang juga pandai bermain
silat. Ia langsung saja menyerang Asni. Mirah menyerang Asni dengan tongkat.
Asni bener-benar kerepotan dibuatnya. Soalnya tenaga Mirah masih kuat-kuatnya. Jurus-jurus
tongkat Mirah juga sangat berbahaya. Namun dalam beberapa kali gebrakan Asni
masih belum sempat kena gebuk.
Bahkan pada suatu ketika Asni berhasil menangkap tongkat Mirah dan menariknya kuat-kuat sehingga Mirah jatuh terjerembab ke kolam ikan, tubuhnya belepotan lumpur. Marah sekali gadis itu, cepat melompat ke darat. Kali ini ia menyerang Asni dengan sebilah pedang tajam. Namun Asni benar-benar seorang jagoan muda. Entah bagaimana caranya tahu-tahu pedang di tangan Mirah terlepas dan tubuh MIrah terlempar ke pohon yang bercabang-cabang.
“Aaaaaa…!” Mirah menjerit saat tubuhnya melayang turun.
Namun dengan cekatan Asni menangkap tubuh gadis itu. Mirah merasa geram sekali. Asni hanya tersenyum-senyum. Mirah makin marah.
“Hahaha…!” tiba-tiba terdengar suara tawa Bang Bodong. “Sudah jodohmu Mirah! Bukankah kau hanya akan kawin dengan pemuda yang mampu mengalahkanmu?”
“Hey! Lepaskan aku..!” teriak Mirah yang masih dipondong Asni.
Asni melepaskan tubuh gadis itu ke tanah.
“Mirah!” kata Bang Bodong. “Kau tak boleh ingkar janji. Asni berhak menikahimu.”
Para pengikut Bang Bodong bersorak sorai mendengar ucapan itu. Mirah tersipu malu. Hari itu juga Asni diterima sebagai anggota keluarga baru. Lalu Asni menceritakan maksud kedatangannya ke Kampung Marunda. Mencari perampok yang membuatnya diancam masuk penjara.
Mirah dan ayahnya segera tahu siapa pelaku perampokan itu. Pasti Tirta dan anak buahnya. Mereka tinggal di Kerawang. Bang Bodong menyusun rencana. Tirta akan diundang dalam pesta perkawinan Asni dan Mirah.
Begitulah, undangan tersebar. Pesta dilangsungkan dengan meriah sekali. Banyak tamu yang datang, termasuk Tirta. Tirta sangat kaget melihat tempat itu juga ada Bek Kemayoran dan Tuan Ruys. Dan yang paling membuatnya gelisah adalah banyaknya para opas dan para centeng Babah Yong. Mereka seperti sudah mengepungnya.
Tirta mempunyai pistol, maka iya mengacung-acungkan pistolnya ke arah Bek Kemayoran. Lalu ditembakkan. Letusan pistol membuat para tamu jadi panic dan semburat, bubar tak tentu arah.
Bang Bodong bermaksud menghalangi tirta yang mau menembak lagi. Namun pistol tetap meletus dan melukai Bang Bodong. Lelaki tua it terpental dadanya Nampak berdarah. Lalu pingsan.
Tirta berhasil melarikan diri dari tempat itu. Para opas dan centeng mengejarnya. Semua menghunus senjata masing-masing. Namun dari semua pengejar itu, hanya Mirah yang berlari paling cepat. Dialah yang paling dulu menyusul Tirta.
Setelah dekat, Mirah meloncat, bermaksud merebut pistol di tangan Tirta, namun Tirta mempertahankannya mati-matian. Maka terjadilah saling rebut hingga mereka bergulingan di pantai pasir. Tiba-tiba tanpa disengaja pistol meledak. Ternyata tepat mengenai dada Tirta sendiri.
“Mirah…” kata Tirta menjelang sekarat. “Aku senang bertemu denganmu. Hanya benda inilah yang dapat kuberikan sebagai hadiah perkawinanmu.”
Tirta menyerahkan sebuah bungkusan. Mirah membukanya, ternyata sebuah pending emas yang indah. Mirah merasa terharu. Saat itu Asni datang menyusul.
“Tirta…ini suami saya,” kata Mirah. Tirta dan Asni bersalaman, lalu Tirta merangkul Asni. “Kita bersaudara Asni, kita satu ayah. Ibu saya dari Kerawang sedang ibumu dari Banten.”
Akhirnya Tirta kehabisan darah dan meninggal dunia. Asni dan Mirah sangat sedih. Bang Bodong akhirnya sadar dari pingsannya. Setelah mendapat perawatan serius Bang Bodong sembuh seperti sedia kala.
Setelah tiga puluh enam hari, Asni dan Mirah pergi meninggalkan Marunda. Mereka tinggal di Kemayoran sampai tua. Daerah Kemayoran menjadi aman karena ada sepasang pendekar dari Marunda.
Selesai.
Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar