CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 19 Oktober 2013

PANGERAN FAHISAL DAN CERMIN BERKABUT

Ketika ayahandanya meninggal, Pangeran Fahisal masih teralu muda untuk memerintah kerajaan. Ia mewarisi kekeuasaan dan kekayaan yang berlimpah, sehingga Pangeran Fahisal hidup seenaknya. Pesta dan bersenang-senang itulah yangdilakukan oleh Pangeran Fahisal. Ia mengahambur-hamburkan uang rakyat untuk kesenangan-kesenangannya.
Sebenarnya, Pangeran Fahisal bukanlah seorang pemuda yang behati jahat, tetapi hanya karena cara berfikirnya saja yang belum dewasa. Tak ada yang berani melarang atau mengingatkan kehendaknya. Hanya gurunya yang sudah tua saja yang berani berkata agak keras.

“Waspadalah Fahisal, jika ka uterus menerus membuang-buang waktu dan harta untuk sesuatu yang tak berguna, Dewa akan murka kepadamu.”

Tetapi Pangeran fahisal tak mempedulikannya. Bahkan para pembesar dan kaum ningrat mentertawakan sang guru. Akhirnya sang guru itu mengundurkan diri dan hidup di tepi hutan yang sepi bersama anak gadisnya yang bernama Sarah.

Suatu hari ketika Pangeran Fahisal berada di dalam kamarnya sendirian, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ia didatangai seorang laki-laki tua yang perkasa.

“Fahisal… Fahisal…! Kau telah menjerumuskan dirimu sendiri dan seluruh rakyatmu,” kata orang itu. “Akulah Dewa Agung, raja makhluk bumi. Selama ini akulah yang melindungi kerajaanmu. Kini, kau justru akan menghancurkannya!”

“Tapi aku masih bisa membantumu…” kata orang itu lagi. “Pergilah ke kamar ayahmu! Angkat batu marmen yang ada di tengah ruangan. Kau akan melihat sebuah tangga lebar yang menurun. Masuklah kau ke dalamnya dank au nanti akan menemukan harta yang banyak sekali. Tetapi jangan kau sentuh harta itu. Nanti kau akan mendapat perintah selanjutnya.”

Lelaki itu kemudian menghilang. Pangeran Fahisal segera bergegas ke kamar ayahnya dan menuruni tangga seperti yang dikatakan oleh orang tua itu. Harta dan uangnya sudah habis untuk foya-foya. Kini ia sangat membutuhkannya.

Emas, intan dan permata yang berkilauan terserak di mana-mana dalam ruangan bawah tanah itu. Ada juga sebuah lapik patung tetapi di atasnya tak ada patung, yang ada hanya sebuah kertas bertuliskan;

“Sebelum kau menyentuh harta itu, kau harus menemukan patung yang hilang dan menemukan harta yang paling berharga di seluruh dunia.”

Pangeran Fahisal menjadi bingung. Ia tak bisa memahami perintah itu. Sama sekali tidak jelas. Dia melihat sekelilingnya, kalau-kalau ada sesuatu yang bisa membantunya.

Tiba-tiba terasa ada angin berhembus. Bersama itu muncul asap putih. Nampak bayang-bayang yang semakin lama semakin jelas. Arwah ayahnya! Segera Fahisal berlutut menghormat.

“Minta tolonglah kepada gurumu, anakku. Hanya dia yang bisa menolongmu….” Suara ayah Fahisal bergema, kadang dekat, kadang pula terdengar jauh.

Bayang-bayang itu kemudian bergetar. Makin tipis, lalu menghilang. Pangeran Fahisal segera meninggalkan ruangan itu dan bergegas menuju rumah gurunya.

Lelaki tua itu dengan penuh perhatian mendengarkan keterangan Fahisal.

“Ya ya aku tahu. Aku tahu di mana istana Dewa Agung itu. Mari kita pergi ke sana dan bertanya apa sesungguhnya maksud perintah itu.”

Kedua orang itu memulai perjalanan yang panjang. Melintasi padang pasir, menembus hutan yang lebat dan menyeberangai sungai-sungai yang terjal dan deras airnya.

Akhirnya mereka sampai di sebuah istana yang megah di kaki gunung yang tinggi menjulang. Dinding putih, pintunya terbuat dari emas dan meneranya menggapai awan.

Penjaga pintu gerbang membiarkan Pangeran Fahisal dan gurunya masuk. Seorang kerdil mengantarkan mereka ke kebun belakang yang berdinding. Di sana tampak duduk sang Dewa Agung di atas singgasana yang bertahtakan intan permata.

Dia mendengarkan permohonan Fahisal, kemudian berkata, “Bawa kemari gadis tanpa dosa dan akan kukatakan di mana kalian bisa menemukan patung yang hilang itu.”

Diulurkannya sebuah cermin kepada Fahisal. Cermin itu berkabut, sehingga tak dapat mengaca di situ.

“Kabut cermin itu akan hilang jika gadis tak berdosa mengaca di sini,” kata Dewa Agung lalu berpaling. Pangeran Fahisal tak berani bertanya lebih jauh.

Kedua orang itu tak tahu harus mencari di mana. Mereka kemudian mengembara. Banyak gadis yang dijumpainya dan disuruhnya mengaca, tapi kabut itu tak mauhilang. Akhirnya mereka kembali ke pondok guru tua.

“Indah sekali cermin ini!” kata Sarah, putrid guru tua. Wajah gadis itu tampak nyata dalam cermin itu. Ternyata dia adalah gadis yang tak berdosa.

Guru Pengeran Fahisal melihat itu menjadi gelisah. Dia tak ingin kehilangan puterinya, tetapi akhitnya dibawa juga Sarah menghadap Dewa Agung. Dewa Agung tersenyum. Ia mengangguk lalu menggandeng Sarah. Sekejap kemudian mereka menghilang. Tiba-tiba perasaan Pangeran Fahisal tak lagi tertarik pada harta peninggalan ayahnya yang berlimpah. Hatinya telah jatuh cinta pada Sarah. Rasanya, seluruh kekayaannya tak berarti dibandingkan dengan Sarah.

Sementara itu, rakyatnya menunggu kedatangan Pangeran Fahisal. Terpaksa ia kembali ke istana dan masuk ke ruang harta. Ternyata di lapik patung Nampak sesosok tubuh yang terbungkus kain sutra. Pangeran Fahisal segera menarik kain yang menutupi patung itu. Sarah! Ternyata Sarah yang berada di atas lapik patung itu.

“Itulah calon istrimu,” kata Dewa Agung yang tiba-tiba menampakkan diri. “Sebelum kau tergila-gila oleh harta, kau harus belajar mengerti, bahwa hati yang bersih lebih berharga dari pada seluruh kekayaan yang ada di dunia.”

Pangeran Fahisal akhirnya tumbuh menjadi lelaki yang dewasa, bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Dia menikah dengan Sarah dan mereka hidup bahagia.

Selesai.

Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.

0 komentar:

Posting Komentar