Prabu Brawijaya penguasa Kerajaan
Majapahit mempunyai seorang putri yang
cantik yaitu Diah Ayu Pusparani. Putri ini memang benar-benar ayu sesuai dengan
namanya. Banyak raja dan pangeran yang melamar untuk dijadikan permaisuri.
Prabu Brawijaya bingung memilih calon menantu. Lalu Prabu Brawijaya mengadakan
sayembara siapa yang bisa merentang busur sakti Kyai Garodayaksa dan sanggup
mengangkat gong Kyai Sekardelima dialah yang berhak menikah dengan Dyah
Pusparani.
Para pelamar menguji kemampuannya
namun ternyata tak atu pun yang sanggup merentang busur apalagi mengangkat gong
yang sangat besar itu.
Menjelang berakhir sayembara itu
datang seorang pemuda berkepala lembu yaitu Raden Lembusura atau Raden Wimba.
Dia mengikuti sayembara itu dan berhasil merentang busur serta mengangkat Gong
Kyai Sekardelima. Dengan demikian berarti Raden Lembusura yang berhak menikah
dengan Dyah Pusparani.
Melihat kemenangan Lembusura, Dyah
Pusparani langsung meninggalkan Sitihinggil. Ia sangat sedih karena harus
menikah dengan pemuda yang berkepala lembu.
Putri itu lari kepada embannya. Dia
tidak mau menikah dengan manusia berkepala binatang, betapapun saktinya. Emban
yang setia itu mencari akal bagaimana caranya agar putri batal menikah dengan
Raden Lembusura. Dia akhirnya menemukan jalan keluar.
Dyah Pusparani disarankan
mengajukan syarat kepada Lembusura. Syaratnya Raden Lembusura harus bisa
membuat sumur di puncak Gunung Kelud. Mendengar saran embannya Dyah Pusparani
sangat gembira. Dia segera menyertai ayahnya untuk menemui Lembusura. “Selamat
Raden Wimba, engkau telah memenangkan sayembara dengan gemilang.”
“Terima kasih Putri dan kau akan
menjadi istriku.”
“Saya tahu itu. Namun saya masih
mengajukan satu syarat lagi.”
“Katakanlah Putri, apa syaratmu
itu?”
“Buatkan aku sumur di puncak Gunung
Kelud. Air sumur itu akan aku pakai mandi berdua setelah selesai upacara
perkawinan.”
“Baiklah Putri. Demi cintaku padamu
akan kupenuhi permintaanmu itu.”
Raden Wimba putra Adipati
Blambangan itu segera meninggalkan Keraton Majapahit menuju puncak Gunung
Kelud. Dengan kesaktiannya konon dia mampu mengerahkan makhluk halus untuk
membantunya menggali sumur di puncak Gunung Kelud.
Ternyata benar tak lama kemudian
Lembusura telah menggali cukup dalam. Melihat hal itu, Dyah Pusparani
ketakutan, bagaimanapun kalau Lembusura berhasil menemukan air di sumur itu dia
harus menjadi istri Lembusura.
Prabu Brawijaya juga kebingungan.
Dia bisa memahami perasaan putrinya. Dyah Pusparani menangis di hadapan
ayahnya, ia mohon ayahandanya bisa menolongnya.
Akhirnya Prabu Brawijaya menemukan
cara. Lembusura harus ditimbun hidup-hidup di dalam sumur itu. Kemudian Prabu
Brawijaya menitahkan seluruh prajurit yang menyertainya untuk menimbun sumur
itu dengan batu-batu besar. Juga gundukan tanah yang ada di sekitar situ.
Sebentar saja sumur tadi telah rata seperti semula. Lembusura tertimbun di
dasarnya.
Meskipun begitu karena dia sakit,
dia masih sempat mengancam kepada Prabu Brawijaya.
“Prabu Brawijaya, engkau raja yang
licik, culas. Meskipun aku telah terpendam di sumur ini, aku masih bisa
membalasmu. Yang terpendam ini ragaku bukan nyawaku. Ingat-ingatlah, setiap dua
windu sekali aku akan merusak tanahmu dan seluruh yang hidup di kerajaanmu.”
Setelah suara itu hilang, seluruh
prajurit yang melihat kejadian itu ketakutan. Begitu pula Prabu Brawijaya dan
putrinya. Kemudian Prabu Brawijaya memerintahkan untuk membuat tanggul pengaman.
Tanggul itu sekarang disebut Gunung Pegat.
Hingga sekarang ini jika Gunung
Kelud meletus dianggap sebagai amukan Lembusura untuk membalas dendam atas
kelicikan Prabu Brawijaya.
Selesai.
Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.
Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar