Ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Ringin Anom. Rajanya bernama Prabu Aryo Seto. Prabu Aryo Seto mempunyai putri
bernama Putri Kemuning.
Prabu aryo seto memerintah dengan
bijaksana dan adil. Maka Kerajaan Ringin
Anom terkenal tenteram, makmur dan tidak pernah terjadi kekacauan.
Namun Prabu Aryo Seto sangat sedih
ketika putrinya Putri Kemuning terserang penyakit langka yaitu keringat berbau
tidak sedap. Sang Prabu berusaha sekuat tenaga mencari obat, mencari tabib agar
sakit Putri Kemuning dapat tersembuhkan.
Berbagai upaya dilakukan seperti makan
daun kemangi, beluntas juga tidak berhasil.usaha terakhir yang dilakukan Prabu
Aryo Seto yaitu bersemadi, meminta petunjuk Tuhan agar penyakit langka itu
dapat tersembuhkan.
Pada saat semadi, Prabu Aryo Seto
mendengar suara, “Hai Prabu Aryo Seto, bila engkau ingin putrimu sembuh seperti
semula, adakanlah sayembara, “Barangsiapa dapat memetik daun Sirna Ganda yang
tumbuh dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga
sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya. Siapa berhasil memetik daun
Sirna Ganda, akan mendapat hadiah sebagai menantu Sang Raja. Dan daun Sirna
Ganda harus dimakan oleh Putri Kemuning!”
Seminggu setelah sayembara diumumkan,
Kerajaan Ringin Anom kebanjiran peserta sayembara. Mereka menginginkan hadiah
yang menggiyurkan. Pada hari ketujuh, datanglah seorang pemuda buruk rupa yang
menderita budug. Karena penyakit tersebut ia dinamakan Jaka Budug. Ia menghadap
Sang Prabu dengan maksud membantu menyembuhkan penyakit langka Putri Kemuning.
Ia datang bersembah, “ Ampun tuanku, hamba mohon ampun. Hamba memberanikan diri
mengikuti sayembara untuk meringankan penderitaan tuan putri.”
Sang Raja tertegun. Ia tatap tubuh Jaka
Budug yang buruk rupa. Hatinya galau. Seandainya pemuda itu berhasil, apakah
putrinya barsedia menjadi istrinya. Namun ia adalah raja yang dikenal adil dan
bijaksana, tak mungkin ia membeda-bedakan keadaan rakyatnya. Maka berkatalah
ia, “Baiklah Jaka Budug, kau juga rakyatku. Keinginanmu kuterima. Engkau boleh
mengikuti sayembara ini.”
“Ampun, Tuanku, Hamba moho kepada Tuanku Sang
Raja, sebelum melaksanakan tugas, apakah diperkenankan melihat keadaan Sang
Putri?” Sembah Jaka Budug.
“Silahkan,” jawab Sang Baginda.
Setelah melihat keadaan Putri Kemuning,
Jaka Budug mohon diri untuk melanjutkan tugas mengambil daun Sirna Ganda.
Dari kejauhan, Jaka Budug telah dapat
melihat semburan api dari mulut naga sakti penjaga pohon Sirna Ganda. Jaka
Budug dengan gesitnya memainkan pedang yang dibawanya mengenai badan ular naga.
Badan ular naga yang terkena goresan pedang mengeluarkan darah dan darah
tersebut mengenai badan Jaka Budug. Anehnya badan Jaka Budug seketika menjadi
halus dan bersih dari penyakit budug.
Melihat tubuh dirinya yang bersih, Jaka
Budug berjuang keras untuk membunuh ular naga sakti. Dengan kemampuan dan
kelincahan Jaka Budug, akhirnya naga sakti mati terbunuh. Pedang menancap pada
leher ular naga dan darah memancar dengan derasnya. Oleh Jaka Budug darah ular
dipakai untuk mencuci wajahnya dan membasahi seluruh tubuhnya. Seketika badan
Jaka Budug bersih tanpa ada bekas dari penyakit yang dideritanya.
Setelah ular naga mati, Jaka Budug
segera mengambil beberapa lembar daun Sirna Ganda, lalu dipersembahkan kepada
Prabu Aryo Seto.
“Anak Muda siapakah kau ini?” Tanya sang
Prabu.
“Hamba adalah Jaka Budug, Tuanku.”
“Tapi… Jaka Budug badan dan wajahnya
tidak setampan engkau.
“Inilah karunia Dewata, Tuanku. Tubuh
dan wajah hamba berubah karena mandi darah si Naga Sakti.”
Jaka Budug kemudian menceritakan
pengalamannya sewaktu melawan ular naga sakti. Mendengar cerita tersebut, Prabu
Aryo Seto merasa senang sekali. Putri Kemuning makan daun Sirna Ganda, setelah
memakan daun tersebut keajaiban pun terjadi. Putri Kemuning menjadi sehat
kembali. Kini bau keringat Putri Kemuning kembali harum. Sesuai janji Prabu
Aryo Seto, maka Jaka Budug dinikahkan dengan Putri Kemuning. Jaka Budug dan
Putri Kemuning hidup bahagia sebagai pewaris tahta.
Selesai.
Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.
Diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara dalam buku Dongeng Pengantar Tidur; Greisinda Press, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar